Oleh Pater Steph Tupeng Witin, SVD
Memutus Spiral Kekerasan
Gus Dur saat ditanya Andy F. Noya dala msalah satu acara: Apakah memaafkan Amien Rais dan Megawati yang paling bertanggung jawab melengserkan dirinya dari Presiden RI. Gus Dur menjawab: “Saya maafkan tapi tidak melupakan.” Memang manusia sulit mengampuni ketika hadir kebencian, kebekuan hati, penghinaan, celaan dan sakit hati. Sangat manusiawi, memang. Tapi Tuhan menuntut setiap murid-Nya untuk bertindak melampaui kebijaksanaan manusia, “Aku memaafkan tapi tidak melupakan.”
Kitab Putra Sirakh meminta setiap pribadi berbelas kasih. “Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscaya dosa-dosamu akan diampuni juga, jika engkau berdoa” (Sir 28:2). Pengampunan kepada sesama hanya dapat dilakukan sampai yang bersalah mendapatkan pemulihan dari komunitas iman (bdk Kel 23:4-5).
Sikap batin yang suka bermusuhan mesti dikikis habis sebelum ajal datang. Setiap murid Tuhan Yesus harus mampu menunjukkan hati Allah yang kasih-Nya lebih kuat dari dosa dan maut. Gereja mengajarkan bahwa “Pengampunan adalah syarat utama untuk perdamaian (bdk 2Kor 5: 18-21) anak-anak Allah dengan Bapa-Nya dan di antara manusia satu sama lain” (Katekismus Gereja Katolik, 2844).
Tuhan menginsafkan segenap anggota komunitas beriman agar mengedepankan pengampunan dan rekonsiliasi. Mereka harus menerima dan mengampuni saudaranya yang berbuat dosa (Mat 18:21-22). Petrus bertanya kepada Yesus: apakah harus mengampuni sampai tujuh kali.
Angka tujuh adalah simbol kesempurnaan. Tuhan bersabda,” Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Artinya: pengampuni itu “selalu”, tanpa batas. Yesus meminta Petrus dan kita semua agar mengampuni dengan sepenuh hati, tanpa batas kuntitatif yang mengungkung diri dan meminimalisasi kreativitas manusia untuk mengampuni dengan tulus. Nabi Yeremia berkata,”Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat 3:22-23).
Sesungguhnya Tuhan ingin memutus lingkaran setan kekerasan (the spiral of violence), kata Dom Helder Camara, Uskup Agung Recife, Brazil. Lingkaran setan itu telah masuk dalam sejarah manusia sejak dosa Adam dan Hawa, pembunuhan Kain terhadap Habel dan karena balas dendam Lamekh (Kej 4:23-24). Raja menghapus hutang hambanya sepuluh ribu talenta setara dengan emas seberat 164 ton karena Ia tahu hamba itu tidak akan mampu melunasinya.
Ia mengampuni karena turut merasakan penderitaan hamba-Nya. Hati-Nya berbelas kasih. Sebaliknya, manusia selalu dalam posisi batin tidak mampu melunasi hutang kepada Allah. Di sisi lain, hamba yang telah mendapatkan pengampunan itu justru tidak mengampuni orang yang berhutang padanya seratus dinas atau setara emas 30 gram. Malah, ia memenjarakan orang kecil ini. Kasih dan pengampunan Allah tidak menjadi berkat bagi orang lain.
Santo Matius melalui Injil hendak membangun komunitas yang menyediakan ruang bertumbuh dan berkembangnya solidaritas dan persaudaraan. Komunitas ini berlawanan dengan komunitas yang dibangun kekaiseran Romawi: komunitas tanpa hati dan tanpa empati bagi orang kecil, lemah, sakit dan miskin. Orang-orang kecil mencari tempat perlindungan tapi ditolak.
Orang-orang kecil ini mencari perlindungan di sinagoga dan komnuitas Kristen tapi keduanya menerapkan hukum yang banyak menuntut. Apalagi komunitas Kristen terpecah antara yang miskin dan kaya (Yak 2:1-9).
Artikel Terkait
Renungan Rabu, 13 September 2023: Melawan Ketidakadilan Sosial
Renungan Kamis, 14 September 2023: Salib: Jalan Keajaiban Allah
Renungan, Jumat, 15 September 2023: Perempuan Tanpa Ketakutan
Renungan Sabtu, 16 September 2023: Pohon Bijaksana
Renungan Katolik, Minggu, 17 September 2023 (Pekan Biasa XXIV, St Albertus dr Yerusalem, St Hildegardis)