Oleh: P. Peter Tan, SVD, M. Fil
BANYAK filsuf yang juga sastrawan. Mereka mengartikulasi pemikiran mereka melalui karya sastra. Albert Camus misalnya, menulis gagasan filosofisnya tentang eksistensi manusia dalam beberapa novel yang terkenal seperti Orang Asing dan Sampar.
Meskipun filsafat sebagai ilmu tidak sama dengan sastra, ada kedekatan antara filsafat dan sastra, antara bahasa filosofis dan bahasa puitis.
Heidegger, filsuf Jerman abad ke-20, bahkan beranggapan bahwa ketimbang bahasa-bahasa teknis-ilmiah dalam filsafat dan sains, bahasa puitis adalah bahasa yang lebih cocok dan lebih cair untuk mengungkapkan kebenaran (aletheia). Dia menyebut bahasa puisi sebagai "rumah Ada".

Buku baru dari Pater Dr. Fritz Meko, SVD, yang berjudul "Kepada yang Terhormat: Surat Kepada Filsuf, Teolog, Sosiolog, Pedagog, Inventor dan Sastrawan", adalah sebuah upaya membaca kerumitan filsafat dari sudut pandang seorang Sastrawan.
Baca Juga: Apa Arti “Gereja Itu Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik” bagi Umat Katolik Ukraina?
Saya kenal P. Fritz sebagai seorang sastrawan yang produktif, yang menghasilkan puluhan buku (refleksi sosial, filosofis, spiritual) juga 4 buku antologi puisi- suatu cara mengakrabi kebenaran dan menggeluti pencarian filosofis yang tak kenal puas akan cinta, kebijaksanaan dan bahkan keilahian dan keabadian.
Dalam buku ini, P. Fritz "menulis surat" untuk 33 tokoh pemikir dan pembaharu, yg sebagian besar dari mereka adalah filsuf. "Menulis surat" tentu kata yg lebih pas dan elok ketimbang "menulis buku".
"Surat" adalah sarana mengungkapkan perasaan dan pikiran pribadi yang paling otentik kepada siapa surat itu dituju. Melalui surat, relasi antara si penulis surat dan si orang yang dituju bukan relasi teknis melainkan "sangat personal dan otentik."
Karena itu, buku yg berjudul "Kepada yang Terhormat: Surat Kepada...." ini adalah hasil dari renungan pribadi dan mendalam penulisnya, suatu cetusan hati dan pikiran, yang menandakan kecintaan dan minat pribadi Penulis akan pemikiran 33 tokoh tersebut.
"Surat" P. Fritz adalah "surat balasan", yang berarti ketika Pater Fritz membaca pemikiran 33 tokoh tersebut, Pater Fritz memandang buku-buku yang dibacanya bukan sebagai "buku pemikiran 33 tokoh itu" melainkan sebagai "surat".
Ini menggambarkan "singularitas" setiap kali seseorang membaca sebuah buku. Singularitas artinya hubungan personal seorang pembaca dengan buku yang dibacanya.
Ketika saya membaca buku, saya tidak sedang mengeja huruf-huruf atau kalimat, tetapi saya sedang mendengarkan- dengan penuh minat dan kritis- terhadap orang (penulis, pemikir atau filsuf) yang bukunya sedang saya baca.
Artikel Terkait
RESENSI: Propaganda SVD Melalui 'Film Bisu' Ria Rago dan Amorira
RESENSI BUKU: Ada Apa dengan Gereja Katolik Roma? Apa yang Terjadi Sekarang?
RESENSI: Tiga Buku yang Dapat Membantu Umat Katolik Hidup dalam Masyarakat Postmodern