P. Kons Beo, SVD
Satu Kenangan Terindah
Teringat kisah kebersamaan di waktu dulu. Di saat-saat ramai berkumpul, sering terdengar seruan khas yang lazim terucap, “Biasa-biasa ka!” Ini alarm halus. Tapi sebenarnya jelas tegas. Demi membidik teman yang dianggap kelewatan dari yang biasa-biasa. Yang sedikitnya overacting ‘mo stel pamer-pamer.’ Yang terkesan MPO (menarik perhatian orang) sembarang yang overdosis.
Baca Juga: Britney Spears Ungkapkan Rasa Frustrasinya karena tidak Bisa menikah di Sebuah Gereja Katolik
“Biasa-biasa ka!” sepertinya juga jadi satu hardikan tipis namun telak. Tertuju pada siapapun yang ‘suka omong tinggi semua.’ Yang sekian melambung ke awan-awan tentang segala kisahnya. Yang terkesan bikin drama show of force dari keluarbiasaan yang ‘dipunyainya.’ Tetapi ini semua tak mengapalah. Tak terlalu penting. Entah itu sungguh sesuai dengan kenyataan atau tidak. Intinya, ada sesuatu ‘yang bikin rasa enak begitu’ dalam canda gurau.
Duduk kumpul bersama seperti itu tetap asyik. Demi ramainya suasana memang perlu orang-orang yang talented dalam ‘wora’ (bahasa Ende-NTT), artinya orang ‘yang suka omong banyak, dengan banyak variasi kembang-kembangnya.’ Kita sedikit pun tak peduli pada soal kebenaran isi ceritanya. Yang terpenting, ya itu tadi, sekedar bikin ramai. Hidupkan suasana. Ada rasa senang dan menghibur.
Jebakan Elitisme Palsu
Spirit “Biasa-Biasa, Kesetaraan, Kekitaan”
Ketika kita sungguh merenungkan sentuhan ungkapan “Biasa-Biasa ka!” maka terdapat makna kesetaraan dan kesejajaran. Kita dipanggil pulang untuk ‘kembali ada bersama dalam kesamaan.’ Di situ, ditemukan kembali makna terdalam dari kata “KITA.”
Baca Juga: BKKBN Gandeng Pemuda Katolik Implementasi Program Prioritas Pembangunan Keluarga untuk Remaja di DKI Jakarta
Kebersamaan yang setara-sejajar tentu membawa makna hidup saling membebaskan. Tanpa canggung dan tanpa cemas. Sebab merasa diri ‘luar biasa yang eksklusif dan elitis’ memang sepantasnya disingkirkan. Elitisasi yang berciri ekslusif itu terjadi ketika partisipasi tersingkir oleh variasi modus single fighter dan aksi pembatasan.
Agama: Jalur Basah Elitisme?
Arus elitisme religius menyeruak ketika para pemuka agama merasa diri sendiri sebagai agen sah dan tunggal sertifikasi demi ‘surga-neraka, halal-haram, saleh-kafir, benar-berdosa.’ Maka di sini terdapat apa yang disebut ancaman perampasan otonomi diri yang bebas.
Rahasia kokohnya satu kebersamaan hanya terdapat pada ‘rasa kebersamaan’ itu sendiri. Saat ‘yang dianggap luar biasa tidak dipakai sebagai tameng atau tembok tebal yang membentengi elitisme. Kebersamaan yang benar adalah panggung di mana suara setiap orang dapat didengar. Saat keindahan setiap orang ditangkap. Dan bahkan lebih dari itu, “di mana suara yang lemah dapat terdengar, walau dengan kata-kata asing sekalipun.”
Akhirnya
Sungguh tak mudah untuk membebaskan diri sendiri dari lingkaran ‘aku yang elitis.’ Diri kita sungguh terbebani oleh berbagai asesori ‘pangkat, jabatan, kuasa, gelar pun kedudukan’ yang sengaja dirawat dan ditonjol-tonjol demi satu impresi angker dan elit.
Ada bagusnya jika mesti segera pulang ke lingkaran yang ‘biasa-biasa.’ Sebab di situlah kita temukan kembali jati diri. Itulah diri yang sebenarnya. Bebas dari segala tempelan yang memberatkan. Ini juga penting agar kita bisa kembali pulang dalam ‘persaudaraan sesama manusia.’
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma