Akhirnya Senegal terhenti. Tak lagi melaju ke fase perempat final. Inggris terlalu tangguh. Untuk menghajarnya 3 – 0. Nampaknya Senegal tak segarang seperti di fase sebelumnya. Hanya di beberapa menit awal babak pertama saja, Senegal memang sudah mengancam. Tapi itu semua tak terjadi lagi di menit demi menit berikutnya. Walau terlihat ada ‘baku balas serang-menyerang’ antar keduanya.
Gawang Inggris benar-benar bebas dari ancaman serius. Mungkin kah Senegal keletihan setelah euforia masuk 16 besar? Bila harus dikatakan, maka kiranya publik pada heran akan down-nya spirit bertarungnya Senegal.
Tapi sudahlah. TimNas Inggris tentu bukanlah level ayam sayur. Permainan cepat dan indah berbuah gol cantik dan terukur. Dan adalah Henderson, Kane,dan Saka jadi pahlawan Three Lions dengan masing-masing sebiji gol. Luar biasa.
Baca Juga: Bacaan Injil, Senin, 05 Desember 2022: Minggu II Adven
Oh iya, mari mundur sejenak ke Final Piala Eropa setahun lebih silam di Wembley Stadion, Inggris. Italia vs Inggris yang berujung pada uji pinalti. Pasti masih terekam wajah tiga pemuda Inggris yang gagal pinalti di hadapan Donnarumma, penjaga Italia. Ada Markus Rashforf, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Publik Inggris kala itu menghujat bertiga.
Tak ketinggalan Gareth Southgate, pelatih Inggris dilumpuri kata. Ia terlalu nekat percayakan si Saka, yang masih berusia 19 tahun itu untuk sebuah penalti krusial. Dan gagal lagi. Bukan kah, kala itu, ada nada-nada rasis yang mesti disemprot bagi mereka bertiga? Namun, malam ini semuanya berubah. Di wajah Saka ada senyuman lebar. Sebab semua telah berubah pastinya.
Tapi, mari merenung pula faktor X di balik laga Inggris versus Senegal itu. Tidak kah kita merasa kagum akan para suporter Senegal? Mereka yang setia menemani TimNas nya dalam setiap laga. Mungkin saja mereka bersuara dalam dukungan demi sebuah kemenangan. Dan memang itu yang diharapkan.
Baca Juga: Bacaan I, Senin, 05 Desember 2022: Minggu II Adven
Yang terjadi dan terlihat malam ini adalah animo heroisme demi Tim Nasional. Entah menang atau kalah, semangat sorak-sorai demi para pemain. Semuanya tak ubah bagai ‘satu panggilan’ bagi para suporter. Sorak-sorai dukungan tetap digaungkan. Trompet tetap dinyaringkan. Lengkak lengkok tubuh tetap jadi bagai tarian hentakan penuh dukungan.
Artikel Terkait
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022:Bagaimana Rasanya Menjadi Seoorang Imam Katolik di Qatar
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Dari Senegal Ada Spirit “Manko Wutti Ndamli”
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Simak! Robert Lewandowski, Kapten Polandia Bicara Soal Imannya
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Argentina Menang – Polandia Kalah, Tetapi ‘Terima Kasih Arab Saudi’
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Mengenal Kekristenan di ‘Negara Tuan Rumah Pesta Bola Dunia’, Qatar
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Mengintip ‘Jejak Katolik’ pada Peserta Piala Dunia FIFA 2022, Grup F
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Der Panzer: Jujur, Aku Tak Ingin Engkau Pergi
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022:Paulo Bento di Antara Portugal dan Korsel
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Betulkah Memphis Depay Tak Sabar Menanti Lionel Messi?
SEPUTAR PIALA DUNIA 2022: Mengapa Messi Menggambar Tato Wajah Yesus Bermahkota Duri di Lengannya?